Bunga di taman yang indah. Dilihat dari berbagai mata yang memandang, baik kamu ataupun orang lain. Kau bilang aku ini bunya di taman itu, menarik bagimu. Kau jatuh dalam lautan warnaku dan auraku. Kau bilang hanya aku bunya yang dapat kau hinggapi. Kau bilang kau hanya ingin memetikku saja. Pendusta. Seperti dulu. Saat aku berharap hanya kamu yang datang dan memetikku, kau malah pergi memandang warna lain dalam kerajaan pohonku. Memandang bunga yang ada jauh diatas sana, dekat pucuk, sangat indah menarik perhatian. Aku sudah menghentikan petana untuk tidak memetikku terlebih dahulu sebelum kamu. Sudah ku usir ulat dan kumbang yang hinggap. Hingga tiada daya lagi untukku, hanya untukmu. Termasuk berlian itu, kau tahu? Kemarin aku di beri berlian. Namun tak ku terima. Kemarin aku diberi emas.Namun tak ku terima. Seorang raja pun datang kepadaku dan ingin menjadikan aku perhiasan terindah untuk anaknya, sang Pangeran. Tak kuterima karena ku mengharapkanmu. Aku menunggumu. ...
Manusia yang berada di depan kubus. Menulis celotehan hidup yang tak berarti. Mungkin ia mengharapkan sesuatu akan datang kepadanya. Yap, sesuatu yang menurutnya dapat melepas spidol hitamnya. Pandangan matanya memandang sesuatu. Memandang pintu kayu lapuk. Badannya membeku seketika. Satu.. dua.. tiga...hitungnya dalam hati. Setelah membuang waktu dengan coretan di papan putih itu, ia berbalik, mundur. Mungkin kau penasaran apa yang ia tulis? Atau apa yang ia tunggu? Bersabarlah, cerita tak akan sesingkat itu bukan? Mata yang indah. Mata elang. Tajam. Mungkin ia tak menyadari sesuatu disekitarnya. Melihat. Menatapnya. Tak berkedip dari balik jendela. Sosok itu tahu apa yang sedang ia pikirkan. Manusia tak berguna, sosok itu berkata. Angin menghempaskan daun, seperti itulah dirinya. Jika ini tahun lalu, tak mungkin skenario cerita ini akan seperti ini. Mungkin akan tertulis "dia menatap sesuatu di jendela dan sosok itu juga menatapnya. Tamat". Sungguh aku sedang tidak me...