Manusia yang berada di depan kubus. Menulis celotehan hidup yang tak berarti. Mungkin ia mengharapkan sesuatu akan datang kepadanya. Yap, sesuatu yang menurutnya dapat melepas spidol hitamnya. Pandangan matanya memandang sesuatu. Memandang pintu kayu lapuk. Badannya membeku seketika. Satu.. dua.. tiga...hitungnya dalam hati. Setelah membuang waktu dengan coretan di papan putih itu, ia berbalik, mundur. Mungkin kau penasaran apa yang ia tulis? Atau apa yang ia tunggu? Bersabarlah, cerita tak akan sesingkat itu bukan?
Mata yang indah. Mata elang. Tajam. Mungkin ia tak menyadari sesuatu disekitarnya. Melihat. Menatapnya. Tak berkedip dari balik jendela. Sosok itu tahu apa yang sedang ia pikirkan. Manusia tak berguna, sosok itu berkata. Angin menghempaskan daun, seperti itulah dirinya.
Jika ini tahun lalu, tak mungkin skenario cerita ini akan seperti ini. Mungkin akan tertulis "dia menatap sesuatu di jendela dan sosok itu juga menatapnya. Tamat". Sungguh aku sedang tidak mengada-ngada. Ini nyata. Bukan sekedar rangkaian kata yang disusun tanpa alasan. Huh. Aku tidak sedang menulis puisi, ini celotehan indahku. Kau tidak setuju? Tak apa. Toh aku tak mengharapkannya.
Kembali pada sosok di balik jendela. Matanya kosong. Harapnya hilang. Otaknya sedang mencoba membalikkan kenyataan dan kenangan itu. Kembalilah ia ke masa oktober. Disaat hujan pun menjadi berarti, bukan sekedar tangisan langit seperti yang mereka katakan. Langkah kali dua insan yang sedang tertawa.
Sudah. Sudahlah.. Aku tak ingin menceritakannya. Sosok itu.. Tak berdaya. Yap itu aku. Sosok yang sedang berdiri dan menatap kaku. Waktu tak salah dan aku tak menyalahkannya. Waktu hanya sebagai saksi dan ia sedang menjalankan tugasnya dari sang Tuhan. Oke aku bodoh. Aku tahu itu hanya membuang waktu dan menciptakan masalah. Empat tahun sudah berjalan, diiringi lantunan lagu wake me up when september ends aku mulai melangkah pergi. Dengan langkah kaki yang mengaduh. Aku tak peduli. Pernahkah kau membaca buku "daun yang jatuh tak pernah membenci angin" ?. Aku tak ingin sepertimu, daun. Namun aku ingin belajar kata "ikhlas" kepadamu. Cerita tentang mengikhlaskan itu klasik dan kuno, aku tahu. Tapi entahlah. Biarkan saja semuanya mengaduh, aku tak peduli. Rangkaian kata ini akan sia-sia sebenarnya. Dan aku mulai mengabaikannya. Kemudian menatap langit abu.
Komentar
Posting Komentar